Saturday, 25 May 2013


YONO, SANG PETARUNG JALANAN

Di siang yang terik itu, di mana semua orang berlomba-lomba mencari kerindangan. Datang seorang pria paruh baya, dengan jalan terseok-seok, menodongkan kaleng lusuh dengan harap sekoin uang receh memenuhi kalengnya.
Dipakainya sepatu putih yang sudah berubah warna, dan tongkat usang yang menjadi teman setia dalam perjalanannya. Pria yang ternyata berumur 45 tahun itu mulai bekerja ketika semburat merah sang mentari masih malu-malu menampakkan wajahnya. Dia berjalan, selangkah demi selangkah, menyusuri jalanan yang banjir akan polusi. Demi mempertahankan kehidupan di esok hari.
Yono, dia adalah seorang ayah yang memiliki dua orang putri kembar dan seorang istri yang bekerja pada sebuah pabrik ternama. Namun, itu dulu. Dulu sebelum peristiwa tak diinginkan itu terjadi. Ketika ia masih bekerja sebagai sopir truk sayuran.
Bagai orang yang memakan nangka tapi tak mau kena pulutnya. Pria itu ditinggal pergi anak dan istrinya seketika itu. Ia di tinggal istri dan anaknya karena sakit stroke yang di deritanya tak kunjung-kunjung sembuh.
Menurut Yono Peristiwa itu terjadi di suatu pagi yang cerah, seusai melakukan pekerjaan, dia membeli sarapan di warung makan di ujung terminal. Baru dua suap makanan yang ia nikmati, tiba-tiba saja dia pingsan tanpa ada sebab yang jelas. Waktu itu, orang-orang di sekelilingnya mengira kalau dia keracunan makanan. Akan tetapi ketika dia sadar, tiba-tiba sekujur tubuhnya kaku, dia tidak mengetahui bahwa stroke telah menyerangnya.
Matahari terus berputar. Dari detik, menit, jam, hingga hari tidak terasa sudah jauh terlampaui. Di hamparan depan masjid menara Kudus. Dengan suara agak parau dan air mata yang sudah menyesak di dada. Pria itu terus saja berkelana dengan tongkat dan botol aqua yang sering dibawanya untuk mengemis.
Tiga tahun sudah pak Yono bekerja sebagai pengemis. Berjalan dari pasar ke pasar yang satu hingga sampai ke menara Kudus ini, dengan kaki sebelah yang sudah tidak berfungsi lagi, dia tetap mengemis dengan alasan untuk bertahan hidup.
 “Hidup mati, saya akan tetap jalani mbak.” Kata-kata pasrah yang begitu saja terlontar dari mulut pak Yono yang terlihat sangat tegar. Seakan dia masih mempunyai hari esok yang cerah, dan segepok uang untuk berobat. Apalagi berobat, makan saja harus berjalan berkilo-kilo meter untuk dapat uang cukup.
Pernah suatu kali, ada pihak pemerintah yang datang memberi bantuan, tapi itu saja tidak cukup untuk berobat. Dan penyesalan datang di kemudian hari. Bahkan saudara yang tinggal jauh di kota Palembang, tidak tahu tentang keadaannya sekarang ini yang sedang stroke.
Ketika suara adzan berkumandang di telinga, dengan badan yang sudah agak rapuh dan topi merah yang menaungi kepalanya dia tetap berdiri sembari berjalan bergontai-gontai dengan satu kakinya yang masih bisa berjalan untuk melanjutkan perjalanannya demi menyambung hidup.

0 comments:

Post a Comment