Di siang yang terik itu, di mana semua orang
berlomba-lomba mencari kerindangan. Datang seorang pria paruh baya, dengan
jalan terseok-seok, menodongkan kaleng lusuh dengan harap sekoin uang receh
memenuhi kalengnya.
Dipakainya sepatu putih yang sudah berubah
warna, dan tongkat usang yang menjadi teman setia dalam perjalanannya. Pria
yang ternyata berumur 45 tahun itu mulai bekerja ketika semburat merah sang
mentari masih malu-malu menampakkan wajahnya. Dia berjalan, selangkah demi
selangkah, menyusuri jalanan yang banjir akan polusi. Demi mempertahankan
kehidupan di esok hari.
Yono, dia adalah seorang ayah yang memiliki
dua orang putri kembar dan seorang istri yang bekerja
pada sebuah pabrik ternama. Namun, itu dulu. Dulu sebelum peristiwa tak
diinginkan itu terjadi. Ketika ia masih bekerja sebagai sopir truk sayuran.
Bagai orang yang memakan nangka tapi tak mau kena
pulutnya. Pria itu ditinggal pergi anak dan istrinya seketika itu. Ia di tinggal istri dan anaknya karena sakit stroke yang di
deritanya tak kunjung-kunjung sembuh.
Menurut Yono Peristiwa itu terjadi di suatu pagi yang cerah, seusai melakukan pekerjaan, dia membeli sarapan di
warung makan di ujung terminal. Baru dua suap makanan yang ia nikmati, tiba-tiba
saja dia pingsan tanpa ada sebab yang jelas. Waktu itu, orang-orang di sekelilingnya mengira
kalau dia keracunan makanan. Akan tetapi ketika dia sadar, tiba-tiba sekujur
tubuhnya kaku, dia tidak mengetahui bahwa stroke telah menyerangnya.
Matahari terus berputar. Dari detik, menit,
jam, hingga hari tidak terasa sudah jauh terlampaui. Di hamparan depan masjid menara Kudus.
Dengan suara agak parau dan air mata yang sudah menyesak di dada. Pria itu terus
saja berkelana dengan tongkat
dan botol aqua yang sering dibawanya untuk mengemis.
Tiga tahun sudah pak Yono bekerja sebagai
pengemis. Berjalan dari pasar ke pasar yang satu hingga sampai ke menara Kudus
ini, dengan kaki sebelah yang sudah tidak berfungsi lagi, dia tetap mengemis dengan alasan untuk bertahan hidup.
“Hidup mati, saya akan tetap jalani mbak.” Kata-kata
pasrah yang begitu saja terlontar dari mulut pak Yono yang terlihat sangat
tegar. Seakan dia masih mempunyai hari esok yang cerah, dan segepok uang untuk
berobat. Apalagi berobat, makan saja harus berjalan berkilo-kilo meter untuk dapat uang cukup.
Pernah suatu kali, ada pihak pemerintah yang
datang memberi bantuan, tapi itu saja tidak cukup untuk berobat. Dan penyesalan
datang di kemudian hari. Bahkan saudara yang tinggal jauh di kota Palembang, tidak tahu tentang keadaannya
sekarang ini yang sedang stroke.
Ketika suara adzan berkumandang di telinga, dengan badan yang sudah agak rapuh dan topi merah
yang menaungi kepalanya dia tetap berdiri sembari berjalan bergontai-gontai dengan satu kakinya yang masih bisa berjalan untuk melanjutkan perjalanannya demi menyambung hidup.
0 comments:
Post a Comment